Pages

Labels

Senin, 08 Oktober 2012

Mengapa Pendidikan Anak Usia Dini Penting?



Lewat bermain yang terarah, anak usia dini sudah bisa belajar banyak hal.

Pendidikan anak usia dini (PAUD) yang baik dan tepat dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depan, begitulah pesan yang disampaikan Profesor Sandralyn Byrnes, Australia's & International Teacher of the Year saat seminar kecil di acara Giggle Playgroup Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management, Jumat, 11 Februari 2011 lalu.
Menurut Byrnes, PAUD akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. "Saat ini, beberapa taman kanak-kanak sudah meminta anak murid yang mau mendaftar di sana sudah bisa membaca dan berhitung. Di masa TK pun sudah mulai diajarkan kemampuan bersosialisasi dan problem solving. Karena kemampuan-kemampuan itu sudah bisa dibentuk sejak usia dini," jelas Byrnes.
Di lembaga pendidikan anak usia dini, anak-anak sudah diajarkan dasar-dasar cara belajar. "Tentunya di usia dini, mereka akan belajar pondasi-pondasinya. Mereka diajarkan dengan cara yang mereka ketahui, yakni lewat bermain. Tetapi bukan sekadar bermain, tetapi bermain yang diarahkan. Lewat bermain yang diarahkan, mereka bisa belajar banyak; cara bersosialisasi, problem solving, negosiasi, manajemen waktu, resolusi konflik, berada dalam grup besar/kecil, kewajiban sosial, serta 1-3 bahasa."
Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. "Tentunya cara bermain pun tidak bisa asal, harus yang diarahkan dan ini butuh tenaga yang memiliki kemampuan dan cara mengajarkan yang tepat. Kelas harusnya berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran. Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar," jelas Byrnes.
Contoh, bermain peran sebagai pemadam kebakaran, anak tidak akan mendapat apa-apa jika ia hanya disuruh mengenakan busana dan berlarian membawa selang. Tetapi, guru yang mengerti harus bisa mengajak anak menggunakan otaknya saat si anak berperan sebagai pemadam kebakaran, "Apa yang digunakan oleh pemadam kebakaran, Nak? Bagaimana suara truk pemadam kebakaran yang benar? Apa yang dilakukan pemadam kebakaran? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan ditanyakan untuk memancing daya pikir si anak," contoh Byrnes.
Selama 7 tahun meneliti pendidikan anak usia dini di Indonesia, Byrnes juga menemukan sebagian orangtua memiliki konsep bahwa anak-anak di usia itu sudah bisa berpikir. "Anak-anak usia dini belum bisa berpikir dengan sempurna seperti orang dewasa. Anak-anak usia tersebut harus dipandu cara berpikir secara besar, cara mencerna, dan berdaya nalar. Sayangnya, beberapa lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia belum mengajarkan mengenai multiple intelligences. Ini kembali ke perkembangan latar belakang ahli didiknya," ungkap Byrnes.
Apa perbedaan anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan usia dini berkualitas dengan anak-anak yang tidak belajar? "Di lembaga pendidikan anak usia dini yang bagus, anak-anak akan belajar menjadi pribadi yang mandiri, kuat bersosialisasi, percaya diri, punya rasa ingin tahu yang besar, bisa mengambil ide, mengembangkan ide, pergi ke sekolah lain dan siap belajar, cepat beradaptasi, dan semangat untuk belajar. Sementara, anak yang tidak mendapat pendidikan cukup di usia dini, akan lamban menerima sesuatu," terang Byrnes yang pernah mendapat gelar Woman of the Year dari Vitasoy di Australia. "Anak yang tidak mendapat pendidikan usia dini yang tepat, akan seperti mobil yang tidak bensinnya tiris. Anak-anak yang berpendidikan usia dini tepat memiliki bensin penuh, mesinnya akan langsung jalan begitu ia ada di tempat baru. Sementara anak yang tidak berpendidikan usia dini akan kesulitan memulai mesinnya, jadi lamban. Menurut saya, pendidikan anak sudah bisa dimulai sejak ia 18 bulan," tutup Byrnes.

SD Jangan Paksakan Tes Masuk dengan "Calistung"

 
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal, Dan Informal Lydia Freyani Hawadi mengingatkan sekolah-sekolah dasar untuk tidak memaksakan mengadakan tes masuk membaca, menulis, dan berhitung, bagi calon siswa. Hal itu, menurutnya, salah kaprah. Tes yang diberikan, tegasnya, harus disesuaikan dengan pengembangan anak saat belajar di TK atau PAUD.

“Jika masuk sekolah dasar itu diuji dengan membaca, menulis, dan berhitung, itu salah kaprah! Sehingga dalam hal ini, tolong dari pihak SD jangan seleksi masuk dalam hal itu.Kecuali sesuai dengan penegembangan mereka untuk masuk SD,” kata Lydia, akhir pekan lalu, di Gedung Kemdikbud, Jakarta.

Ia berharap para penyelenggara pendidika mengikuti rambu-rambu yang sudah ditetapkan. Terkait PAUD sendiri, ia menekankan, akan dijadikan sebagai prapendidikan dasar yang berperan menjadi pondasi sebelum masuk ke jenjang pendidikan dasar.

"Wajib belajar sendiri itukan 12 tahun, justru TK ini merupakan pondasi untuk masuk ke dalam pendidikan dasar. Kita tahu bahwa perkembangan anak 80 persen pada usia 3 tahun hingga keberadaan PAUD ini sangat penting,” ujarnya.
 
Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, katanya, memprioritaskan agar seluruh anak mengenyam PAUD. Selain mempersiapkan kurikulum, sarana, dan prasarana, kualitas para guru juga terus ditingkatkan.

“Karena keberadaan PAUD penting, kita sedang all out membuat mulai dari kurikulum yang baik, sarana dan prasarananya, maupun kualitas para guru,” ujar Lydia.

“Tidak hanya sekadar menggelontarkan uang untuk pembangunan gedung, renovasinya, atau men-set up adanya PAUD, kita justru sekarang lebih meningkatkan kompetensi guru melalui program beasiswa. Beasiswa tersebut untuk S1, S2, atau D4, D1 melalui kerjasama dengan beberapa universitas,” paparnya.

Baca dan Berhitung Bukan Porsi PAUD

Baca dan Berhitung Bukan Porsi PAUD


Kesadaran memberikan pendidikan bagi anak-anak usia dini kini semakin berkembang. Berbagai sekolah berlomba-lomba menerapkan berbagai metode pendidikan untuk anak usia dini. Namun, orangtua sebaiknya lebih bijaksana memilih metode pendidikan yang tepat.

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, anak-anak berusia balita (bawah lima tahun) yang mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) seharusnya tidak diberikan pendidikan baca tulis dan hitung (calistung).

"Kurikulum yang ada dibuat PAUD itu seharusnya didesain lebih pada sosialisasi pendidikan kepada anak, seperti berkenalan kepada temannya, bagaimana berinteraksi dan sosialisasi; bukan calistung. Berhitung itu seharusnya dimulai dari kelas I SD," ungkapnya dalam acara media edukasi bertajuk "Mengenali Gejala Stres pada Anak" yang diadakan oleh lembaga konseling Personal Growth, Selasa (20/3/2012) di Jakarta.

Dengan diajarkannya calistung pada PAUD ini, ia menilai anak-anak menjadi stres. Demikian pula dengan orangtua dan gurunya yang ikut stres, dan akan berdampak ketika menghadapi ujian nasional.

"Anak kita yang PAUD tidak bisa baca tulis, orangtuanya stres karena tidak bisa memasukkannya ke SD. Begitu seterusnya karena tidak sesuai grade. Ini dikarenakan sistem kurikulumnya memaksa anak harus bisa baca tulis," paparnya.

Kurikulum seperti itu, katanya, seperti sistem target yang harus diselesaikan. Seharusnya sistem pendidikan menggunakan sistem yang dapat membuat anak didik nyaman dan senang saat belajar.

"Kalau sekarang, misalnya, ketika guru tidak bisa hadir di kelas, anak-anak senang. Tidak merasa seperti ada yang kurang. Di sinilah salahnya," lanjutnya.

Menurut psikolog Ratih Ibrahim, seharusnya di setiap keluarga terbangun sebuah kesadaran bahwa pendidikan bukan hanya dari sekolah. Alternatif pendidikan itu bisa disediakan oleh orangtua.

"Sebetulnya, paling penting, itu disediakan oleh orangtua karena mereka kenal dengan baik psikologis perkembangan anaknya," ujar Ratih yang juga Direktur Personal Growth, dalam acara yang sama.

Dengan demikian, kata Ratih, kalau orangtua percaya diri akan anaknya dan gaya mendidik mereka, maka anak akan menemukan potensi mereka. "Ini yang tidak bisa diukur dengan nilai," katanya.

Membangun Karakter Sejak Pendidikan Anak Usia Dini



Membangun Karakter Sejak Pendidikan Anak Usia Dini

Kawan, jika saya ditanya kapan sih waktu yang tepat untuk menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang? Maka, jawabnya adalah saat masih usia dini. Benarkah? Baiklah akan saya bagikan sebuah fakta yang telah banyak diteliti oleh para peneliti dunia.
Pada usia dini 0-6 tahun, otak berkembang sangat cepat hingga 80 persen. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa yang dimana perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak akan mulai terbentuk. Karena itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa-masa emas anak (golden age).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli Perkembangan dan Perilaku Anak dari Amerika bernama Brazelton menyebutkan bahwa pengalaman anak pada bulan dan tahun pertama kehidupannya sangat menentukan apakah anak ini akan mampu menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan apakah ia akan menunjukkan semangat tinggi untuk belajar dan berhasil dalam pekerjaannya.
Nah, oleh karena itu, kita sebagai orang tua hendaknya memanfaatkan masa emas anak untuk memberikan pendidikan karakter yang baik bagi anak. Sehingga anak bisa meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam kehidupannya di masa mendatang. Kita sebagai orang tua kadang tidak sadar, sikap kita pada anak justru akan menjatuhkan si anak. Misalnya, dengan memukul, memberikan pressure yang pada akhirnya menjadikan anak bersikap negatif, rendah diri atau minder, penakut dan tidak berani mengambil resiko, yang pada akhirnya karakter-karakter tersebut akan dibawanya sampai ia dewasa. Ketika dewasa karakter semacam itu akan menjadi penghambat baginya dalam meraih dan mewujudkan keinginannya. Misalnya, tidak bisa menjadi seorang public speaker gara-gara ia minder atau malu. Tidak berani mengambil peluang tertentu karena ia tidak mau mengambil resiko dan takut gagal. Padahal, jika dia bersikap positif maka resiko bisa diubah sebagai tantangan untuk meraih keberhasilan. Anda setuju kan?

Banyak yang mengatakan keberhasilan kita ditentukan oleh seberapa jenius otak kita. Semakin kita jenius maka semakin sukses. Semakin kita meraih predikat juara kelas berturut-turut, maka semakin sukseslah kita. Benarkah demikian? Eit tunggu dulu!
Saya sendiri kurang setuju dengan anggapan tersebut. Fakta membuktikan, banyak orang sukses justru tidak mendapatkan prestasi gemilang di sekolahnya, mereka tidak mendapatkan juara kelas atau menduduki posisi teratas di sekolahnya. Mengapa demikian? Karena sebenarnya kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak kita saja. Namun kesuksesan ternyata lebih dominan ditentukan oleh kecakapan membangung hubungan emosional  kita dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Selain itu, yang tidak boleh ditinggalkan adalah hubungan spiritual kita dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Tahukah anda bahwa kecakapan membangun hubungan dengan tiga pilar (diri sendiri, sosial, dan Tuhan) tersebut merupakan karakter-karakter yang dimiliki orang-orang sukses. Dan, saya beritahukan pada anda bahwa karakter tidak sepenuhnya bawaan sejak lahir. Karakter semacam itu bisa dibentuk. Wow, Benarkah? Saya katakan Benar! Dan pada saat anak berusia dini-lah terbentuk karakter-karakter itu. Seperti yang kita bahas tadi, bahwa usia dini adalah masa perkembangan karakter fisik, mental dan spiritual anak mulai terbentuk. Pada usia dini inilah, karakter anak akan terbentuk dari hasil belajar dan menyerap dari perilaku kita sebagai orang tua dan dari lingkungan sekitarnya. Pada usia ini perkembang mental berlangsung sangat cepat. Pada usia itu pula anak menjadi sangat sensitif dan peka mempelajari dan berlatih sesuatu yang dilihatnya, dirasakannya dan didengarkannya dari lingkungannya. Oleh karena itu, lingkungan yang positif akan membentuk karakter yang positif dan sukses.

Lalu, bagaimana cara membangun karakter anak sejak usia dini?

Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Untuk itu, Tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini, salah satunya dengan cara memberikan kepercayaan pada anak untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak mengarahkan potensinya dengan begitu mereka lebih mampu untuk bereksplorasi dengan sendirinya, tidak menekannya baik secara langsung atau secara halus, dan seterusnya. Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ingat pilihan terhadap lingkungan sangat menentukan pembentukan karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan penjual minyak wangi akan ikut wangi, bergaul dengan penjual ikan akan ikut amis. Seperti itulah, lingkungan baik dan sehat akan menumbuhkan karakter sehat dan baik, begitu pula sebaliknya. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan YME terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan sosial.
Nah, sekarang kita memahami mengapa membangun pendidikan karakter anak sejak usia dini itu penting. Usia dini adalah usia emas, maka manfaatkan usia emas itu sebaik-baiknya.

Etika Ilmiah

Makalah
  1. A.  Pendahuluan
Dunia, kini sedang dalam taraf gencar-gencarnya untuk penyebaran dan penerapan Ilmu Pengetahuan, ibarat manusia sedang dalam masa remaja, sehingga sering kali belum memperhatikan rambu-rambu yang bersifat mendasar. Meskipun telah banyak pula pandangan-pandangan kritis terhadap perkembangan teknologi yang tak terkendali. Namun masih banyak yang secara ambisius ingin berteknologi tinggi tanpa memperhitungkan matang dalam hal mental, sosial dan struktural. Akibatnya semakin sukar untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk dalam aplikasi Ilmu dan Teknologi.
Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan Ilmu pengetahuan dan teknologi masa lalu. Penemuan-penemuan baru dalam Ilmu dan teknologi terbukti ada yang mengubah suatu aturan baikk alam maupun manusia. Tanggung jawab dalam ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut problem etis (etika), karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yang seharusnya ada.
Ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan tertentu sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam arti sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka, dengan kata lain haruslah dilakukan penelitian.
Mendengar kata penelitian, mungkin pertanyaan awal yang ada dalam benak kita dan setiap orang yang merasa terusik dengan istilah “penelitian” adalah mengapa orang melakukan penelitian? pertanyaan sederhana dan mendasar ini pada dasarnya tidak lepas dari sifat dasar manusia yang serba ingin tahu terhadap sesuatu yang mengusiknya. Disamping itu, minimal ada empat sebab yang melatar belakangi orang melakukan penelitian menurut Sukmadinata[1] yaitu Pertama, karena pengetahuan, pemahaman dan kemampuan manusia sangat terbatas dibandingkan dengan lingkungannya yang begitu luas. Banyak hal yang tidak diketahui, dipahami, tidak jelas dan mneimbulkan keraguan dan pertanyaan bagi dirinya. Ketidaktahuan, ketidakpahaman, dan ketidakjelasan seringkali menimbulkan rasa takut dan rasa terancam. Kedua, manusia memiliki dorongan untuk mengetahui atau cariousity. Manusia selalu bertanya, apa itu, bagaimana itu, mengapa begitu dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang, jawaban-jawaban sepintas dan sederhana mungkin sudah memberikan kepuasan, tetapi bagi orang-orang tertentu, para ilmuwan, peneliti dan para pemimpin dibutuhkan jawaban yang lebih mendalam, lebih rinci dan lebih komrehensif. Ketiga, manusia di dalam kehidupannya selalu dihadapkan kepada masalah, tantangan, ancaman, kesulitan baik di dalam dirinya, keluarganya, masyarakat sekitarnya serta dilingkungan kerjanya. Masalah, tantangan dan kesulitan tersebut membutuhkan penjelasan, pemecahan dan penyelesaian. Tidak semua masalah dan kesulitan dapat segera dipecahkan. Masalah-masalah yang pelik, sulit dan kompleks membutuhkan penelitian untuk pemecahan dan penyelesaiannya. Keempat, manusia merasa tidak puas dengan apa yang telah dicapai, dikuasai, dan dimilikinya, ia selalu ingin yang lebih baik, lebih sempurna, lebih memberikan kemudahan, selalu ingin menambah dan meningkatkan “kekayaan” dan fasilitas hidupnya.
Berangkat dari landasan berpikir di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya orang melakukan kegiatan penelitian tiada lain disamping untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap sebuah gejala atau peristiwa juga untuk memecahkan masalah secara ilmiah dan dapat diterima dengan logika kemanusiaan. Dari hasil penelitian itu pula maka manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan ilmiah maupun kehidupan sosial. Untuk itulah, dalam kerangka menjaga kemurnian hasil penelitian yang dilakukan serta untuk menjaga timbulnya berbagai persoalan dari hasil penelitian yang dilakukan maka persoalan etika menjadi sebuah keniscayaan yang harus diperhatikan dalam penelitian. Etika yang dimaksud, baik berupa etika sosial maupun etika ilmiah yang berkaitan langsung dengan aspek penelitian.

  1. B.    Pengertian Etika dan Ilmiah
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani, yakni ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk.[2] Sedangkan pengertian lainnya lagi, etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan manusia sejauh yang dapat  dipahami oleh pikiran manusia. Dalam bahasa Indonesia kedua-duanya diterjemahkan dengan kesusilaan.[3] Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral.[4] Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia, yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata-kata, dan sebaginya. Adapun motif, watak, dan suara hati sulit untuk dinilai. Tingkah laku yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruknya. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Ruang lingkup etika meliputi bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik dan bagaimana caranya untuk berbuat baik serta menghindari keburukan.[5] Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.[6]
Mempelajari etika bertujuan untuk mendapatkan konsep yang sama mengenal penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normative sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk.
Sedangkan yang dimaksud ilmiah yaitu bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.[7] Dalam kamus ilmiah popular, ilmiah berarti keilmuan; ilmu pengetahuan; sains.[8]

  1. C.    Etika Ilmiah
Ilmu filsafat sebagi usaha ilmiah dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkup bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi filsafat teoritis mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam, hakikat realitas sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, tentang yang transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoritis pun mempunyai maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman yang dicarinya untuk menggerakkan kehidupan.
Eika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika secara umum merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat dengan pelbagai masalah-masalah predikat nilai “susila” dan “tidak susila” “baik” dan “buruk”.
Masalah dasar bagi etika khusus adalah bagaimana seseorang harus bertindak dalam bidang atau masalah tertentu, dan bidang itu perlu ditata agar mampu menunjang pencapai kebaikan hidup manusia sebagai manusia. Menurut Magnis Suseno[9], etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial, yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai masyarakat. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika social membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika social, karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika social menyangkut hubungan manusia-dengan manusia lain baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan Negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia, ideologi-ideologi maupun tanggung jawab manusia terhadap lingkungan hidup. Jadi etika social tentang ilmuwan yang baik (etika ilmiah) adalah salah satu jenis etika khusus, disamping etika-etika khusus lainnya, seperti etika profesi, etika politik, etika bisnis, dan lain sebagainya.
Etika sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar tentang tanggung jawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat, menurut semua dimensinya. Demikian juga etika profesi —yang merupakan etika khusus dalam etika social—mempunyai tugas dan tanggung jawab kepada ilmu dan profesi yang disandangnya. Dalam hal ini, para ilmuwan harus berorientasi pada rasa sadar akan tanggung jawab profesi dan tanggung jawab sebagai ilmuan yang melatar belakangi corak pemikiran ilmiah dan sikap ilmiahnya.[10]
Para ilmuwan sebagai profesional di bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral, yang dalam filsafat ilmu disebut sebagai sikap ilmiah, yaitu suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif, yang bebas dari prasangka pribadi, dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan kepada Tuhan.
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan.hal ini disebabkan oleh karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahklan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggung jawabkan secara sosial untuk melestarikan dan menyeimbangkan alam semesta ini, serta dapat dipertangung jawabkan kepada Tuhan.artinya selaras dengan kehendak manusia dan kehendak Tuhan.
Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan sedikitnya ada enam, yaitu:
  1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), merupakan sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dan menghilangkan pamrih.
  2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
  3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
  4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
  5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset. Dan riset atau penelitian merupakan aktifitas yang menonjol dalam hidupnya.
  6. Memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu bagi kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang telah dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal.
Penerapan dari ilmu membutuhkan dimensi etika sebagai pertimbangan dan yang mempunyai pengaruh pada proses perkembangannya lebih lanjut. Tanggung jawab etika menyangkut pada kegiatan dan penggunaan ilmu. Dalam hal ini pengembangan ilmu pengetahuan harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan ekosistem, bersifat universal dan sebagainya, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia dan bukan untuk menghancurkannya. Penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dapat mengubah suatu aturan alam maupun manusia. Hal ini menuntut tanggung jawab etika untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan tersebut merupakan hasil yang terbaik bagi perkembangan ilmu dan juga eksistensi manusia secara utuh.[11]
Suatu penemuan ilmiah selalu dimulai dengan berbagai penemuan ilmiah yang sebelumnya. Yang berarti bahwa, suatu penemuan ilmiah mendorong untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, atau membuka peluang bagi penemuan ilmiah yang lainnya. Demi tujuan popularitas dan ketenaran dalam waktu secepat mungkin, tidak sedikit dalam waktu sejarah penelitian ilmiah terjadi plagiasi, atau bahkan lebih parah dari pada plagiasi, pengetikan ulang hasil penelitian orang lain. Plagiasi ilmu jelas merupakan suatu perbuatan ilmiah yang sama sekali tidak etis, yakni ketidak jujuran ilmiah.
Ilmuwan dituntut lebih pada perilaku etisnya dalam berilmu daripada rumusan penemuan ilmiah. Rumusan penemuan ilmiah tidak akan dilahirkan secara murni dan original, apabila orang mengklim hasil penemuan ilmiah orang lain sebagai hasil penemuan ilmiahnya. Oleh karena itu, syarat-syarat etis sebagai ilmuan adalah berlaku jujur dan fair dalam penelitian ilmiah, memposisikan keunikan penelitian dengan menelusuri penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya, tidak melakukan klaim bahwa penemuan ilmiahnya adalah satu-satunya teori yang harus diikuti karena setiap penemuan ilmiah dimungkinkan mengandung kesalahan, dan tidak menafsirkan data-data penelitian seenaknya sendiri menurut kepentingan pribadi semata dengan mengorbankan kepentingan objek ilmiahnya.[12]
Yang terpenting dari sebuah nilai adalah bukan nilai, melainkan kebenaran. Sehingga dalam kaitan ini, etika sebenarnya tidak termasuk dalam kajian ilmu dan juga anak kandungnya teknologi secara langsung yang bersifat otonom. Namun demikian, dalam aspek penggunaan atau penerapan ilmu dan teknologi untuk kepentingan kehidupan manusia dan ekologi, etika memiliki peran yang sangat menentukan tidak hanya bagi perkembangan ilmu dan teknologi selanjutnya, tetapi juga bagi keberlangsungan eksistensi manusia dan ekologi. Dengan demikian, etika lebih merupakan suatu dimensi pertanggungjawaban moral dari ilmu.

  1. D.  Penutup
Jadi intinya etika ilmiah itu dapat disimpulkan sebagai sikap seorang ilmuwan dalam mempertanggung jawabkan hasil penelitiannya dalam hal ilmu pengetahuan, yang mana di dalamnya terdapat aturan-aturan (etika) dari penelitian tersebut.
Diperlukan etika ilmiah untuk membatasi pengaruh buruk ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap manusia. Etika ilmiah yang umum meliputi ilmu pengetahuan yang murni maupun yang dipakai serta etika khusus yang merupakan spesialisasi dan profesi. Etika ilmiah merupakan sebagian dari fungsi ilmu pengetahuan, sehingga karena pembagian tugas dan fungsi antara berbagai disiplin dan profesi inilah etika juga terbagi- bagi.
Etika ilmiah akan melandasi setiap kegiatan “responsible scientific inquiries” atau penerawangan ke alam pencarian ilmu pengetahuan yang bertanggung jawab bagi pembangunan kemasyarakatan. Melalui teropong ilmiahnya seorang saintis adalah pencari kebenaran. Sifat dan sikap yang utama keberhasilan pencarian kebenaran melalui metoda ilmu pengetahuan ialah kejujuran. Hanya dengan temuan-temuan ilmiah melalui kultivasi sifat kejujuran dan etika ilmiah dalam memilih antara mana yang baik yang perlu diteliti melalui metoda ilmiah, dan teknologi yang mungkin berdampak buruk yang harus dihindari pengembangannya, maka pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi kita akan berkembang dan berguna bagi mendatangkan kesejahteraan kepada segenap masyarakat kita.

Daftar Pustaka
Magnis, Frans von., “Etika Umum” Jogjakarta : Yayasan Kanisius, 1975
Magnis Suseno, kuasa dan Moral, Gramedia, Jakarta, 1988.
Pius A Partanto, dkk., Kamus Ilmiah Populer, Arkaloka, Surabaya, 1994.
Suriassumantri jujun s, Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer. PT Pancarita Indra Graha. Yogyakarta: 2007.
Sukmadinata, “Metode Penelitian Pendidikan” Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008.
Surajiyo, Drs., Ilmu Filsafat, Cet. Ke-2, Bumi Aksara, Jakarta, 2007.
Sudarsono, S.H. M.Si., Drs.,  Ilmu Filsafat, Cet. Ke-2, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu. Liberty. Yogyakarta: 2007
http://kangdidin.blogspot.com/2010/01/etika-penemuan-ilmiah.html, accessed 28 September 2011.
http://udn-blog.blogspot.com/2011/06/konsep-etika-ilmu-dan-metode-ilmiah.html, accessed 28 September 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/arti_Ilmiah, accesed, 29 September 2011.




[1] Sukmadinata, “Metode Penelitian Pendidikan” Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008., h.

[2] Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat, Cet. Ke-2, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, h. 88.
[3] Magnis, Frans von. 1975, “Etika Umum” Jogjakarta : Yayasan Kanisius.
[4] Drs. Sudarsono, S.H. M.Si., Ilmu Filsafat, Cet. Ke-2, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 188.
[5] Drs. Sudarsono, S.H. M.Si, op.cit., h. 88.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/arti_Ilmiah, accesed, 29 September 2011.
[8] Pius A Partanto, dkk., Kamus Ilmiah Populer, Arkaloka, Surabaya, 1994, h. 243.
[9] Magnis Suseno, kuasa dan Moral, Gramedia, Jakarta, 1988., h.
[10] Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2007., h.175-176
[12] Ibid

Minggu, 07 Oktober 2012

AL-JARH WA AL-TA’DIL

AL-JARH WA AL-TA’DIL

Makalah ini
Ulumul Hadits

  1. A.  Pendahuluan
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu  hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits  riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima,  menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam diwan hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘âdil, dhâbithat au fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa al-Ta’dil’.
Tulisan ini berusaha mengetengahkan perngertian “al-  Jarh wa al-Ta’dil’, dasar-dasar kebolehan melakukan “ al-Jarh wa al-Ta’dil’, sebab-sebab perawi di jarh dan di ta’dil, cara-cara melakukan Jarh dan ta’dil dan pertentangan antara jarh dan ta’dil.
  1. B.  Pengertian al-Jarh dan al-Ta’dil
Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata  Kerja جرح يجرح جرحا yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir[1], selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti “ mengaibkan” seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang”. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat  الحاكم الشاهد جرح  “hakim itu menolak saksi”.
Menuut Istilah,al- Jarh ialah:
هو ظهور وصف  في الراوي  يسلم عد ا لته  ا ويخل  حفظه  وضبطه  مما يتر تب عليه  سقوط  روايته  اوضعفها  ورد ها
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak  keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak”.[2]
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.[3]
Sedangkan Ta’dil menurut bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan).[4] Adapun Pengertian ta’dil menurut ahli hadis antara lain:
وصف الراوى بصفات تزكية فتظهر عدالته ويقبل خبره
ُ“ Sifat rawi dari segi diterima dan nampak keadilannya”.[5] Sedangkan menurut Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy definisi ta’dil adalah:
وصف الراوى بصفات  توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته
“’Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.[6]
Dengan demikian menurut Ajaz al-Khatib, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka.[7]Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
علم  يبحث عن الرواة من حيث ماورد فى شأ نهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.[8]
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti dikutip Faturahman mendefinisikan Ilmu Jarh wa Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Jarh dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafazd tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan Ilmu Jarh wa Ta’dil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al- Hadits.
Dan dari berbagai macam pengertian itu, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
  1. C.  Dasar Kebolehan Melakukan Jarh dan Ta’dil
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan kepada orang lain adalah sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam dengan dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif, seperti memberitakan tentang cacat dan kelemahannya kepada orang lain.[9] Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan:
من ستر اخاه المسلم في الدنيا فلم يقضه ستر الله له يوم القيا مة (رواه أحمد)
 “ Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya (yang muslim) di dunia, maka allah akan menutupi baginya pada hari qiyamat”(H.R. Ahmad).
Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah menunjukan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara al-Sunnah(al- Hadits).
a. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6: [10]
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. Al Hujurat: 6).
b.Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 282.
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[[11]] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Menurut Ajaz al-Khatib yang dimaksud dengan “ adalah orang-orang yang kamu ridhai agama dan keimanannya. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata bekhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.[12]
  1. D.  Sebab-sebab Perawi dikenakan Jarh dan ta’dil dan syarat seorang kritikus

Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima
macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.[13]
  1. Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
  2. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
  3. Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
  4. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
  5. Sedangkan Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:[14]
  1.  Haruslah orang tersebut ‘âlim (berilmu pengetahuan),
  2. Bertaqwa,
  3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
  4. Jujur,
  5.  Belum pernah dijarh,
  6. Menjauhi fanatik golongan,
  7. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
  1. E.  Cara Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
  1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
  2. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
  3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان
Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
  1. Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulantsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan:[15]
  1. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
  2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil  menyatakan keadilan seorang perawi yang semula  belum dikenal keadilannya.
Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperi pada cara mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.
Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh dan Ta’dil
Melalui cara al- Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
  1. Tingkatan lafadz ta’dil, secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.[16]
Pertama,  أو ثق النَّاس , أ ضبط النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ
(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ
(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ
(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, , متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت
(kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو
(benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله
(syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.[17]
  1. b.      Tingkatan lafadz al-Jarh. Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata:  أكذب الناس،  ركن الكذب
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع
)pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ  مُضْطَّرِبُ
(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق منه  ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, غير أو
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.[18]
  1. F.   Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya.
Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui
sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
  1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib[19] sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
  2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
  1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama  yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.[20]
  2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang
    mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini
    kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama
    lain.
  3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kitatawaquf dari
    mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
  4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
Menurut Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat urgen bagi terlaksananya bagi pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
Ma’luf, Louis. Kamus al-Munjid, al-Mathba’ah al-Bijatsu Kuliah, Beirut, 1935.
al-Khatib, Ajaz. Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Dar al-Fikr, Damaskus,1989.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. Prof. Dr. Pengantar Ilmu hadits, PT. Pustaka Rizki Putra Semarang, 2010.
Rahman, Fatchur., Ikhtisar Musthalah al-Hadits, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1974.
Yuslem, Nawir, Dr. M.A. Sembilan Kitab Induk Hadis, Hijri Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Suparta , Munzier. Ilmu Hadis, Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009.

[1] Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976), h. 83.
[2] Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h. 260.
[3] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 82.
[4]Drs. H. Munzier Suparta, M.A., Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 31.
[5] Ibid, h. 262.
[6] Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 279.
[7] Ajaz al-Khatib,op.cit., h. 261.
[8] Drs. H. Munzier Suparta, M.A, Op.cit., h. 31-32.
[9] Dr. Nawir Yuslem, M.A., Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 171-172.
[10] Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
[11] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
[12] Ajaz Al-Khatib, op.cit., h. 267
[13] Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy, op.cit., h. 280-281.
[14] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits, Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), h. 310-311.
[15] Ajaz Al-Khatib, op.cit., h. 267
[16] Dr. Nawir Yuslem, M.A., op.cit.,h. 173.
[17] Ibid., h. 174.
[18] Ibid., h. 174-175.
[19] Ajaz Al-Khatib, op.cit., h. 267.
[20] Ibid, h. 267.

KONSEP DAN PENERAPAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN PENDIDIKAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia menganut konsep pendidikan seumur hidup. Oleh sebab itu pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Agar tujuan pendidikan nasional dapat terwujud, maka pendidikan itu sendiri membutuhkan pengelolaan secara baik. Pengelolaan pendidikan baik oleh pemerintah dan swasta untuk jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah pada setiap jenis dan jenjang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah diselenggarakan oleh Mendikbud atau menteri lain, sedang satuan pendidikan yag didirikan oleh masyarakat diselenggarakan oleh yayasan atau badan yang bersifat sosial. Kepala sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, rektor pada tingkat uninversitas /institut, ketua pada tingkat akademi/sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana.
Dalam kontek manajemen pendidikan, agar pimpinan atau kepala sekolah dan kinerja guru dalam aplikasinya di lembaga persekolahan agar dapat mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Di lembaga pendidikan selain praktisi pendidikan (perencana) pendidikan, maka ujung tombak yang mampu mengangkat keberhasilan pendidikan adalah para guru, termasuk di dalamnya adalah guru yang bertindak sebagai kepala sekolah (manajer pendidikan).
Dengan mengacu pada penerapan fungsi manajemen di atas, di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen pendidikan di sekolah. Dalam mengembangkan manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang fungsi-fungsi manajemen di atas dapat diaplikasikan dalam program kegiatan kependidikan. Kepala sekolah dan guru dalam tugasnya sebagai pemimpin pendidikan, dalam hal ini secara esensial yang diharapkan mampu melakukan proses manajerial secara utuh. Ukuran keterlibatan secara optimal seorang kepala sekolah dan guru dapat dilihat dari:
1. Seberapa besar kontribusi pekerjaan kepala sekolah dan guru bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah melakukan pekerjaan dengan baik
2. Bagaimana guru dan kepala sekolah bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja guru yang sudah ada sekarang.
3. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
4. Mengenali berbagai hambatan kinerja dan berupaya menyingkirkannya.
Dalam konsep ini pimpinan dan guru dalam lembaga pendidikan mmpunyai kemampuan untuk mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan. Evaluasi dalam fungsi manajenen adalah salah satu bagian dari manajemen pendidikan, yang merupakan proses di mana kepala sekolah dan guru secara perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang kepala sekolah dan guru pada suatu periode tertentu dalam penerapan konsep dan fungsi manajemen pendidikan tersebut?
Bertitik tolak dari hal tersebut penulis mencoba untuk mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam makalah yang berjudul: “Konsep dan Penerapan Fungsi-Fungsi Manajemen Pendidikan di Madrasah Ibtidayah Negeri Sungai Lulut Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar”.
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka batasan masalah dalam penulisan makalah ini agar lebih terarah penulis hanya menfokuskan pada masalah-masalah pokok bagaimana karakteristik MIN Sungai Tabuk Kab. Banjar untuk menjawab dari fokus atau persoalan pokok tersebut, maka pertanyaan yang perlu dicari jawabannya sebagai berikut:
Bagaimana peran kepala madrasah dalam penerapan konsep dan fungsi manajemen pendidikian dalam hal perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengerahan (actuating), pengawasan (controlling) pendidikan di Madrasah Ibtidayah Negeri Sungai Lulut Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar ?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG KONSEP DAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN PENDIDIKAN
A. Konsep Manajemen Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu dimensi pembangunan. Proses pendidikan terkait dengan proses pembangunan. Sedangkan pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan pembangunan di bidang ekonomi, yang saling menunjang satu dengan yang lainnya dalam upaya mencapai tujuan pembangunan nasional.
Proses pendidikan berkenaan dengan semua upaya untuk mengembangkan mutu sumber daya manusia, sedangkan manusia yang bermutu itu pada hakikatnya telah dijabarkan dan dirumuskan secara jelas dalam rumusan tujuan pendidikan dan tujuan pendidikan itu sendiri searah dengan tujuan pembangunan secara keseluruhan.
Untuk memahami konsep pendidikan secara umum, maka dapat diajukan berbagai pertanyaan sebagai berikut.
1. Apa: Apa yang dimaksud dengan “pendidikan”? pertanyaan ini menuntut jawaban mengenai definisi pendidikan.
2. Mengapa: Pertanyaan tentang apa tujuan pendidikan yang hendak dicapai? Jawaban atas pertanyaan ini adalah rumusan berbagai aspek tujuan pendidiakn yang telah dirumuska dalam tujuan pendidikan nasioanal.
3. Untuk apa: Pertanyaan ini berkenaan dengan siapa yang menjadi sasaran pendidikan? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah pemahaman mengenai tenaga kependidikan.
4. Bagaimana: Pertanyaan ini berkenaan dengan cara dan prosedur yang ditempuh dalam proses pendidikan. Jawaban atas pertanyaan ini adalah pemahaman tentang konsep kurikulum, pembelajaran dan belajar.
1. Pengertian Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan terdiri dari dua istilah, yaitu manajemen dan pendidikan. Sebelum mengartikan istilah manajemen pendidikan, terlebih dahulu dikemukakan pengertian manajemen dan pengertian pendidikan.
Setiap ahli memberi pandangan yang berbeda tentang batasan manajemen, karena itu tidak mudah member arti universal yang dapat diterima semua orang. Namun demikian dari pikiran-pikiran ahli tentang definisi manajemen kebanyakan menyatakan bahwa manajemen merupakan suatu proses mendayagunakan orang dan sumber lainnya untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efesien.
Dalam buku Kapita Selekta Administrasi Dan Manajemen Pendidikan oleh Husnul Yaqin disebutkan Manajemen berasal dari kata “manage” atau “managiare” yang berarti melatih kuda dalam melangkahkan kakinya, karena kuda mempunyai daya mampu yang hebat.
Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata management yang berarti pengelolaan, ketata laksanaan, atau tata pimpinan. Sementara dalam kamus Inggris Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadily (1995: 372) management berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan.
Menurut Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko mengemukakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Sementara manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain (Robbin dan Coulter, 2007:8).
Istilah manajemen mengacu kepada proses pelaksanaan aktivitas yang diselesaikan secara efesien dengan dan melalui pendayagunaan orang lain. Siagian (1978) menyebutkan manajemen adalah kemampuan dan keterampilan untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan–kegiatan orang lain. Sedangkan Hersey dan Blanchard (1988:144) menyebutkan bahwa manajemen adalah suatu proses bagaimana pencapaian sasaran organisasi melalui kepemimpinan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan suatu proses kontinu yang bermuatan kemampuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu kegiatan baik secara perorangan maupan bersama orang lain dalam mengkoordinasi dan menggunakan segala sumber untuk mencapai tujuan organisasi secara produktif, efektif, dan efesien.
Selanjutnya definisi tentang pendidikan banyak dikemukakan oleh para ahli dalam rumusan yang beraneka ragam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 232). Sementara Ahmad D. marimba memberikan definisi, “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”(Marimba, 1980: 19).
Menurut UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari pengertian manajemen dan pendidikan di atas, maka manajemen pendidikan bisa di artikan sebagai suatu proses yang mengandung fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga pendidikan itu dapat berjalan secara efektif dan efesien menghasilkan peserta didik yang mempunyai pengetahuan, kepribadian dan keterampilan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Secara sederhana manajemen pendidikan adalah suatu lapangan dari studi dan praktik yang terkait dengan organisasi pendidikan. Manajemen pendidikan merupakan proses manajemen dalam pelaksanaan tugas pendidikan dengan mendayagunakan segala sumber secara efesien untuk mencapai tujuan secara efektif. Mengadaptasi pengertian manajemen dari para ahli dapat dikemukakan bahwa manajemen pendidikan adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha pendidikan agar mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Secara khusus dalam konteks pendidikan, Djam’an Satori memberikan pengertian manajemen pendidikan dengan menggunakan istilah administrasi pendidikan yang diartikan sebagai “keseluruhan proses kerja sama dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien”.
Sedangkan Hadari Nawawi mengemukakan bahwa “Administrasi pendidikan sebagai rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara sistematis yang diselenggarakan di lingkungan tertentu terutama berupa lembaga pendidikan formal”. Secara esensial dapat ditarik benang merah tentang pengertian manajemen pendidikan:
a. Manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan
b. Manajemen pendidikan memanfaatkan berbagai sumber daya
c. Manajemen pendidikan berupaya untuk mencapai tujuan tertentu
2. Tujuan Manajemen Pendidikan
Dilakukan manajemen agar pelaksanaan suatu usaha terencana secara sistematis dan dapat dievaluasi secara benar, akurat dan lengkap sehingga mencapai tujuan secara produktif, berkualitas, efektif dan efesien.
a. Produktivitas adalah perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh (output) dengan jumlah sumber yang dipergunakan (input). Produktivitas dapat dinyatakan secara kuantitas maupun kualitas.
b. Kualitas menunjukkan kepada suatu ukuran penilaian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada barang (products) dan/atau jasa (services) tertentu berdasarkan pertimbangan objektif atas bobot dan/atau kinerjanya (Pfeffer end Coote, 1991).
c. Efektivitas adalah ukuran keberhasilan tujuan organisasi.
d. Efesiensi berkaitan dengan cara yaitu membuat sesuatu dengan betul (doing things right) sementara efektivitas adalah menyangkut tujuan (doing the right things) atau efektivitas adalah perbandingan antara rencana tujuan yang dicapai, efesiensi lebih ditekankan pada perbandingan antara input/sumber daya dengan output. Efesiensi pendidikan adalah bagaimana tujuan itu dicapai dengan memiliki tingkat efesiensi waktu, biaya, tenaga dan sarana.
3. Prinsip Manajemen
Douglas (1963: 13-17) merumuskan prinsip-prinsip manajemen pendidikan sebagai berikut:
a. Memprioritaskan tujuan di atas kepentingan pribadi dan kepentingan mekanisme kerja.
b. Mengkoordinasikan wewenang dan tanggung jawab.
c. Memberikan tanggung jawab pada personil sekolah hendaknya sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuannya.
d. Mengenal secara baik faktor-faktor psikologis manusia.
e. Relativitas nilai-nilai.
Prinsip di atas memiliki esensi bahwa manajemen dalam ilmu dan praktiknya harus memperhatikan tujuan, orang-orang, tugas-tugas, dan nilai-nilai. Hal ini hampir selaras dengan apa yang dikemukakan Fattah (1996: 33) yang mengklasifikasikan prinsip manajemen ke dalam tiga ranah yaitu:
a. Prinsip manajemen berdasarkan sasaran: bahwa tujuan adalah sangat esensial bagi organisasi.
b. Prinsip manajemen berdasarkan orang; adalah suatu aktivitas manajemen yang diarahkan pada pengembangan sumber daya manusia.
c. Prinsip manajemen berdasarkan informasi; adalah aktivitas manajemen yang membutuhkan data dan informasi secara cepat, lengkap dan akurat.
B. Fungsi Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan mempunyai fungsi yang terpadu dengan proses pendidikan khususnya dengan pengelolaan proses pembelajaran. Dalam hubungan ini, terdapat beberapa fungsi manajemen pendidikan. Berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen ini, H. Siagian (1977) mengungkapkan pandangan dari beberapa ahli, sebagai berikut:
Menurut G.R. Terry terdapat empat fungsi manajemen, yaitu :
1. Planning (perencanaan);
2. Organizing (pengorganisasian);
3. Actuating (pelaksanaan); dan
4. Controlling (pengawasan).
Henry Fayol terdapat lima fungsi manajemen, meliputi :
1. Planning (perencanaan);
2. Organizing (pengorganisasian);
3. Commanding (pengaturan);
4. Coordinating (pengkoordinasian); dan
5. Controlling (pengawasan).
Harold Koontz dan Cyril O’ Donnel mengemukakan lima fungsi manajemen, mencakup:
1. Planning (perencanaan);
2. Organizing (pengorganisasian);
3. Staffing (penentuan staf);
4. Directing (pengarahan); dan
5. Controlling (pengawasan).
L. Gullick mengemukakan tujuh fungsi manajemen, yaitu:
1. Planning (perencanaan);
2. Organizing (pengorganisasian);
3. Staffing (penentuan staf);
4. Directing (pengarahan);
5. Coordinating (pengkoordinasian);
6. Reporting (pelaporan); dan
7. Budgeting (penganggaran).
Untuk memahami lebih jauh tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan, di bawah akan dipaparkan tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan dalam perspektif persekolahan, dengan merujuk kepada pemikiran G.R. Terry, meliputi :
1. Perencanaan (planning)
Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Louise E. Boone dan David L. Kurtz (1984) bahwa: planning may be defined as the proses by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective. Sedangkan T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa : “ Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Pembuatan keputusan banyak terlibat dalam fungsi ini.”
Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin. T. Hani Handoko mengemukakan sembilan manfaat perencanaan bahwa perencanaan:
a. Membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan;
b. Membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama; Memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran;
c. Membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat;
d. Memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi;
e. Memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian organisasi
f. Membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami;
g. Meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti; dan
h. Menghemat waktu, usaha dan dana.
Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan langkah-langkah pokok dalam perencanaan, yaitu :
a. Penentuan tujuan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) menggunakan kata-kata yang sederhana, 2) mempunyai sifat fleksibel, 3)mempunyai sifat stabilitas, 4) ada dalam perimbangan sumber daya, dan 5)meliputi semua tindakan yang diperlukan.
b. Pendefinisian gabungan situasi secara baik, yang meliputi unsur sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal.
c. Merumuskan kegiatan yang akan dilaksanakan secara jelas dan tegas.
Hal senada dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko (1995) bahwa terdapat empat tahap dalam perencanaan, yaitu :
a. Menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan;
b. Merumuskan keadaan saat ini;
c. Mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan;
d. Mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan
Pada bagian lain, Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan bahwa atas dasar luasnya cakupan masalah serta jangkauan yang terkandung dalam suatu perencanaan, maka perencanaan dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu : 1) rencana global yang merupakan penentuan tujuan secara menyeluruh dan jangka panjang, 2) rencana strategis merupakan rencana yang disusun guna menentukan tujuan-tujuan kegiatan atau tugas yang mempunyai arti strategis dan mempunyai dimensi jangka panjang, dan 3) rencana operasional yang merupakan rencana kegiatan-kegiatan yang berjangka pendek guna menopang pencapaian tujuan jangka panjang, baik dalam perencanaan global maupun perencanaan strategis.
Perencanaan strategik akhir-akhir ini menjadi sangat penting sejalan dengan perkembangan lingkungan yang sangat pesat dan sangat sulit diprediksikan, seperti perkembangan teknologi yang sangat pesat, pekerjaan manajerial yang semakin kompleks, dan percepatan perubahan lingkungan eksternal lainnya.
Pada bagian lain lagi, T. Hani Handoko memaparkan secara ringkas tentang langkah-langkah dalam penyusunan perencanaan strategik, sebagai berikut:
a. Penentuan misi dan tujuan, yang mencakup pernyataan umum tentang misi, falsafah dan tujuan. Perumusan misi dan tujuan ini merupakan tanggung jawab kunci manajer puncak. Perumusan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawakan manajer. Nilai-nilai ini dapat mencakup masalah-masalah sosial dan etika, atau masalah-masalah umum seperti macam produk atau jasa yang akan diproduksi atau cara pengoperasian perusahaan.
b. Pengembangan profil perusahaan, yang mencerminkan kondisi internal dan kemampuan perusahaan dan merupakan hasil analisis internal untuk mengidentifikasi tujuan dan strategi sekarang, serta memerinci kuantitas dan kualitas sumber daya -sumber daya perusahaan yang tersedia. Profil perusahaan menunjukkan kesuksesan perusahaan di masa lalu dan kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagai implementasi strategi dalam pencapaian tujuan di masa yang akan datang.
c. Analisa lingkungan eksternal, dengan maksud untuk mengidentifikasi cara-cara dan dalam apa perubahan-perubahan lingkungan dapat mempengaruhi organisasi. Disamping itu, perusahaan perlu mengidentifikasi lingkungan lebih khusus, seperti para penyedia, pasar organisasi, para pesaing, pasar tenaga kerja dan lembaga-lembaga keuangan, di mana kekuatan-kekuatan ini akan mempengaruhi secara langsung operasi perusahaan.
Meski pendapat di atas lebih menggambarkan perencanaan strategik dalam konteks bisnis, namun secara esensial konsep perencanaan strategik ini dapat diterapkan pula dalam konteks pendidikan, khususnya pada tingkat persekolahan, karena memang pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal, sehingga membutuhkan perencanaan yang benar-benar dapat menjamin sustanabilitas pendidikan itu sendiri.
2. Pengorganisasian (organizing)
Fungsi manajemen berikutnya adalah pengorganisasian (organizing). George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa : “Pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu”.
Lousie E. Boone dan David L. Kurtz (1984) mengartikan pengorganisasian : “… as the act of planning and implementing organization structure. It is the process of arranging people and physical resources to carry out plans and acommplishment organizational obtective”. Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pengorganisasian pada dasarnya merupakan upaya untuk melengkapi rencana-rencana yang telah dibuat dengan susunan organisasi pelaksananya. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengorganisasian adalah bahwa setiap kegiatan harus jelas siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa targetnya.
Berkenaan dengan pengorganisasian ini, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan beberapa asas dalam organisasi, diantaranya adalah : (a) organisasi harus profesional, yaitu dengan pembagian satuan kerja yang sesuai dengan kebutuhan; (b) pengelompokan satuan kerja harus menggambarkan pembagian kerja; (c) organisasi harus mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab; (d) organisasi harus mencerminkan rentangan kontrol; (e) organisasi harus mengandung kesatuan perintah; dan (f) organisasi harus fleksibel dan seimbang.
Ernest Dale seperti dikutip oleh T. Hani Handoko mengemukakan tiga langkah dalam proses pengorganisasian, yaitu : (a) pemerincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi; (b) pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang logik dapat dilaksanakan oleh satu orang; dan (c) pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis.
3. Pelaksanaan/Penggerakkan (actuating)
Dari seluruh rangkaian proses manajemen, pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen yang paling utama. Dalam fungsi perencanaan dan pengorganisasian lebih banyak berhubungan dengan aspek-aspek abstrak proses manajemen, sedangkan fungsi actuating justru lebih menekankan pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan orang-orang dalam organisasi.
Dalam hal ini, George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa actuating merupakan usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan dan sasaran anggota-anggota perusahaan tersebut oleh karena para anggota itu juga ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.
Dari pengertian di atas, pelaksanaan (actuating) tidak lain merupakan upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi kenyataan, dengan melalui berbagai pengarahan dan pemotivasian agar setiap karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan (actuating) ini adalah bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerjakan sesuatu jika : (1) merasa yakin akan mampu mengerjakan, (2) yakin bahwa pekerjaan tersebut memberikan manfaat bagi dirinya, (3) tidak sedang dibebani oleh problem pribadi atau tugas lain yang lebih penting, atau mendesak, (4) tugas tersebut merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan (5) hubungan antar teman dalam organisasi tersebut harmonis.
4. Pengawasan (controlling)
Pengawasan (controlling) merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan. Dalam hal ini, Louis E. Boone dan David L. Kurtz (1984) memberikan rumusan tentang pengawasan sebagai : “… the process by which manager determine wether actual operation are consistent with plans”.
Sementara itu, Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh T. Hani Handoko (1995) mengemukakan definisi pengawasan yang di dalamnya memuat unsur esensial proses pengawasan, bahwa : “Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan – tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.”
Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai. Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.
Selanjutnya dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko bahwa proses pengawasan memiliki lima tahapan, yaitu:
a. Penetapan standar pelaksanaan; Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan;
b. Pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata;
c. Pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan; dan
d. Pengambilan tindakan koreksi, bila diperlukan.
Mengadopsi fungsi manajemen dari para ahli, fungsi manajemen yang sesuai dengan profil kinerja pendidikan secara umum adalah melaksanakan planning, organizing, staffing, coordinating, leading (facilitating, motivating, innovating), reporting, controlling. Namun demikian dalam operasionalisasinya dapat dibagi dua yaitu fungsi manajemen pada tingkat/level makro/masso seperti departemen dan dinas dengan melakukan fungsi manajemen secara umum dan pada level institusi pendidikan mikro yaitu sekolah yang lebih menekankan pada fungsi planning, organizing, motivating, innovating, controlling.
Demikian juga yang terdapat dalam buku Kapita Selekta Administrasi Dan Manajemen Pendidikan oleh Husnul Yaqin disebutkan paling tidak ada lima unsur pentng yang harus ada dalam manajemen pendidikan yang kita coba lihat isyarat-isyaratnya dalam al-Qur’an yang meliputi:
1) Planning (perencanaan)
2) Organizing (pengorganisasian)
3) Actuating (penggerakan)
4) Communication (komunikasi)
5) Controlling (pengawasan)
Fungsi-fungsi manajemen ini berjalan saling berinteraksi dan saling kait mengkait antara satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan proses manajemen. Dengan demikian, proses manajemen sebenarnya merupakan proses interaksi antara berbagai fungsi manajemen.
Dalam perspektif persekolahan, agar tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka proses manajemen pendidikan memiliki peranan yang amat vital. Karena bagaimana pun sekolah merupakan suatu sistem yang di dalamnya melibatkan berbagai komponen dan sejumlah kegiatan yang perlu dikelola secara baik dan tertib. Sekolah tanpa didukung proses manajemen yang baik, boleh jadi hanya akan menghasilkan kesemrawutan lajunya organisasi, yang pada gilirannya tujuan pendidikan pun tidak akan pernah tercapai secara semestinya.
Dengan demikian, setiap kegiatan pendidikan di sekolah harus memiliki perencanaan yang jelas dan realisitis, pengorganisasian yang efektif dan efisien, pengerahan dan pemotivasian seluruh personil sekolah untuk selalu dapat meningkatkan kualitas kinerjanya, dan pengawasan secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Engkoswara, H. dan Komariah, Aan, (2011), Administrasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Hamalik, Oemar, (2006), Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Marno dan Supriyatno, Triyo, (2008), Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, Bandung: PT. Refika Aditama.
Robbin and Coulter, (2007), Manajemen (edisi kedelapan), Jakarta: PT Indeks.
Sudrajat, Akhmad, Konsep Manajemen sekolah, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/03/konsep-manajemen-sekolah/, accessed 16 Februari 2012.
Syaddad, farhan, Manajemen Pendidikan Islam, http://farhansyaddad.wordpress.com/2009/10/30/manajemen-pendidikan-islam/, Accessed 16 Februari 2012.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, (2009), Manajemen Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, (2006), Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Penerbit Fokusmedia.
Yaqin, Husnul, (2011), Kapita Selekta Administrasi Dan Manajemen Pendidikan, Banjarmasin: Antasari Press.
http://nayukpuspita-ap.blogspot.com/2011/01/penerapan-fungsi-manajemen-dalam.html, accessed 16 Februari 2012
http://www.tokoblog.net/2010/08/manajemen-pendidikan.html, accessed 16 Februari 2012.

Prodi Pendidikan Islam ( gelar M.Pd.I )

 
Prodi Pendidikan Islam ( gelar M.Pd.I )
Program Studi Pendidikan Islam (PI), mencetak Magister manajemen pendidikan yang kreatif, kritis, memiliki keahlian dan kemampuan menganalisis persoalan-persoalan dalam pengelolaan pendidikan berdasarkan konsep-konsep pengembangan ilmu manajemen yang dibangun di atas nilai-nilai dan spritual Islam. Prodi ini memiliki bebrapa konsentrasi berikut ini:
a.  Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam: Bertujuan mencetak lulusan magister pendidikan yang ahli dan kompeten dalam menganalisis, mengembangkan dan memecahkan persoalan-persoalan pendidikan Islam dalam rangka membangun sistem pendidikan nasional.
Pembimbing akademik konsentrasi adalah Dr. H. Muhammad Fadhil, M. Ag
b.  Konsentrasi Teknologi Pendidikan Islam (TPI): Bertujuan melahirkan tenaga ahli Islam yang profesional, kompeten, trampil dan memiliki wawasan tentang teori-teori belajar dan pendidikan; model-model pembelajaran; memahami tentang desain, metode, strategi dan teknologi inovasi pendidikan dan  media pendidikan serta mempunyai kemampuan mengembangkannya untuk menjawab tantangan pendidikan Islam dewasa ini dan masa yang akan datang.
Pembimbing akademik konsentrasi adalah  Prof. Dr. H. Mukhtar MPd.dan Prof. Dr. Sjarkawi, M.Pd.
c.  Konsentrasi Kurikulum Pendidikan Islam (KPI): Bertujuan menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu kurikulum pendidikan Islam dan yang mampu mengembangkan kurikulum pendidikan Islam dari konsep sampai kepada implementasinya guna menjawab tantangan-tantangan pengembangan pendidikan Islam pada masa sekarang dan masa mendatang.
Pembimbing akademik konsentrasi adalah  Prof. Dr. H. Lias Hasibuan, MA.
d.  Konsentrasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD): Bertujuan menghasilkan lulusan yang memiliki profesional dan ahli secara khusus dalam bidang pendidikan Islam yang terpadu bagi anak usia dini dan mampu mengembangkannya mulai dari kajian teoritis sampai kepada implementasinya dalam menghadapi pendidikan dewasa ini dan masa yang akan datang. Saat ini kebutuhan SDM yang kompeten di bidang Pendidikan Anak Usia Dini terus meningkat seiring dengan terus bertambahnya lembaga Pendidikan Anak Usia Dini di daerah-daerah. Alumni PIAUD diharapkan dapat memenuhi kebutuhan itu.
  Pembimbing akademik konsentrasi adalah  Prof. Dr. H. Amir Faisol, MA. dan Dr. Marwazi, MAg.

SEBARAN MATA KULIAH
  1. A. Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
  1. 1. Tujuan Konsentrasi
Mencetak lulusan magister pendidikan yang ahli dan kompeten dalam menganalisis, mengembangkan dan memecahkan persoalan-persoalan pendidikan Islam dalam rangka membangun sistem pendidikan nasional
  1. 2. Deskripsi Mata Kuliah
KLP
NAMA MATA KULIAH
Keterangan
SMT
SKS
MPK
1.
Sejarah Sosial Pendidikan Islam
II
2

2.
Perkemb. Pemikiran Moderen Dalam Islam
III
3

3.
Pemikiran Dalam Islam
II
3

4.
Sejarah dan Peradaban Islam
III
3

5.
Studi Al Qur’an
I
3

6.
Studi Al Hadits
III
3
MKK
1.
Bahasa Arab
I
0

2.
Bahasa Inggris
I
0

3.
Metode Penelitian
II
0

4.
Filsafat Ilmu
I
0
MKB
1.
Politik Perenc. dan Kebijakan Pendidikan
I
3

2.
Manajemen Lembaga Pendidikan
I
3

3.
Evaluasi dan Supervisi Pendidikan
II
3

4.
Ekonomi Pendidikan *
III
3

5.
Pemikiran Manajemen Dalam Islam
II
3
MPB
1.
Pengelolaan Tenaga Kependidikan**
III
3

2.
Sistem Informasi Manajemen Pendiddikan
II
3
MBB
1
Penelitian dan Pengembangan Manajemen Pendidikan
III
3
Tesis


IV
6

Keterangan:
*   Mata Kuliah Pilihan
  1. Studi Inovasi Pendidikan*
  1. Manajemen Kekepalasekolahan**
  1. Teori-teori Pendidikan Islam
  1. Penelitian Pengembangan Pendidikan


B. Konsentrasi Teknologi Pendidikan Islam
  1. 1. Tujuan Konsentrasi
Melahirkan tenaga ahli Islam yang profesional, kompeten, trampil dan memiliki wawasan tentang teori-teori belajar dan pendidikan; model-model pembelajaran; memahami tentang desain, metode, strategi dan teknologi inovasi pendidikan dan  media pendidikan serta mempunyai kemampuan mengembangkannya untuk menjawab tantangan pendidikan Islam dewasa ini dan masa yang akan datang.
2. Deskripsi Mata Kuliah
KLP
NAMA MATA KULIAH
Keterangan
SMT
SKS
MPK
1.
Sejarah Sosial Pendidikan Islam*
II
2

2.
Perkemb. Pemikiran Moderen Dalam Islam
III
3

3.
Pemikiran Dalam Islam
II
3

4.
Sejarah dan Peradaban Islam
III
3

5.
Studi Al Qur’an
I
3

6.
Studi Al Hadits
III
3
MKK
1.
Bahasa Arab
I
0

2.
Bahasa Inggris
I
0

3.
Metode Penelitian
II
0

4.
Filsafat Ilmu
I
0
MKB
1.
Politik Perenc. dan Kebijakan Pendidikan
I
3

2.
Manajemen Lembaga Pendidikan
I
3

3.
Evaluasi dan Supervisi Pendidikan
II
3

4.
Ekonomi Pendidikan *
III
3

5.
Teknologi Informasi dan Media Pendidikan**
II
3
MPB
1.
Desain Instruksional
III
3

2.
Komunikasi Pendidikan
II
3
MBB
1
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pendidikan
III
3
Tesis


IV
6

Keterangan:
*   Mata Kuliah Pilihan
  1. Metode dan Strategi Pembelajaran*
  1. Psikologi Belajar dan Pembelajaran*.
  1. Studi Inovasi Pendididkan*
  1. Pengembangan Sumber Belajar**



C. Konsentrasi Kurikulum Pendidikan Islam
1. Tujuan Konsentrasi
Menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu kurikulum pendidikan Islam dan yang mampu mengembangkan kurikulum pendidikan Islam dari konsep sampai kepada implementasinya guna menjawab tantangan-tantangan pengembangan pendidikan Islam pada masa sekarang dan masa mendatang.
  1. 2. Deskripsi Mata Kuliah
KLP
NAMA MATA KULIAH
Keterangan
SMT
SKS
MPK
1.
Sejarah Sosial Pendidikan Islam*
II
2

2.
Perkemb. Pemikiran Moderen Dalam Islam
III
3

3.
Pemikiran Dalam Islam
II
3

4.
Sejarah dan Peradaban Islam
III
3

5.
Studi Al Qur’an
I
3

6.
Studi Al Hadits
III
3
MKK
1.
Bahasa Arab
I
0

2.
Bahasa Inggris
I
0

3.
Metode Penelitian
II
0

4.
Filsafat Ilmu
I
0
MKB
1.
Politik Perenc. dan Kebijakan Pendidikan
I
3

2.
Manajemen Lembaga Pendidikan
I
3

3.
Evaluasi dan Supervisi Pendidikan
II
3

4.
Ekonomi Pendidikan *
III
3

5.
Inovasi dan Pengambangan Kurikulum
II
3
MPB
1.
Model-Model Kurikulum**
III
3

2.
Evaluasi Kurikulum
II
3
MBB

Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan
III
3
Tesis


IV
6

Keterangan:
*   Mata Kuliah Pilihan
  1. Sosiologi Pendidikan*
  1. Desain Instruksioanal*
  1. Kurikulum Lembaga-Lembaga Pendidikan**
  1.  
D. Konsentrasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini 1. Tujuan Konsentrasi
Menghasilkan lulusan yang memiliki profesional dan ahli secara khusus dalam bidang pendidikan Islam yang terpadu bagi anak usia dini dan mampu mengembangkannya mulai dari kajian teoritis sampai kepada implementasinya dalam menghadapi pendidikan dewasa ini dan masa yang akan datang.
  1. 2. Deskripsi Mata Kuliah
KLP
NAMA MATA KULIAH
Keterangan
SMT
SKS
MPK
1.
Sejarah Sosial Pendidikan Islam*
II
2

2.
Perkemb. Pemikiran Moderen Dalam Islam
III
3

3.
Pemikiran Dalam Islam
II
3

4.
Sejarah dan Peradaban Islam
III
3

5.
Studi Al Qur’an
I
3

6.
Studi Al Hadits
III
3
MKK
1.
Bahasa Arab
I
0

2.
Bahasa Inggris
I
0

3.
Metode Penelitian
II
0

4.
Filsafat Ilmu
I
0
MKB
1.
Politik Perenc. dan Kebijakan Pendidikan*
I
3

2.
Evaluasi dan Supervisi Pendidikan
I
3

3.
Manajemen Lembaga Pendidikan
II
3

4.
Ekonomi Pendidikan *
III
3

5.
Pengembangan Sosio Intelektual Anak**
II
3
MPB
1.
Pengembangan Bahasa dan Bahasa Al Qur’an
III
3

2.
Pengembangan Motorik dan Kreatifitas Anak
II
3
MBB

Pengembangan Program dan Evaluasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini
III
3
Tesis


IV
6

Keterangan:
*   Mata Kuliah Pilihan
  1. Studi Inovasi Pendidikan*
  1. Sosiologi Pendidikan*
  1. Desain Instruksioanal*
  1. Landasan Filosofis Pendidikan Dasar Islam**
  1. Analisa Perkembangan Belajar Anak**
  1. Kajian Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar dan Pendidikan Islam**
  1. Psikologi Agama Anak