Pages

Labels

Senin, 02 September 2013

Mengais Karakter Anak Melalui PAUD

A. Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan sebagai sarana memanusiakan manusia telah menyatu pada konsep kehidupan manusia itu sendiri. Ketergantungan manusia terhadap solusi-solusi kemanusiaan yang berasal dari pendidikan semakin nyata di zaman yang serba global ini. Oleh karena itu, kualitas dan jangkauan pendidikan harus semakin ditingkatkan sehingga luarannya berupa manusia yang memunyai nilai-nilai kemanusiaan semakin meningkat.
Pendidikan yang biasanya diidentikkan dengan proses belajar seseorang memang harus paripurna. Long life education atau belajar sepanjang hayat adalah salah satu panduan yang sudah lama dikenal. Selain itu, “belajar dari ayunan sampai ke liang lahat” juga telah dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan, ajaran agama ada yang menelisik bahwa proses belajar dibutuhkan manusia sejak dalam kandungan ibunya. Kesemua itu menandaskan bahwa pendidikan sejak usia dini sampai akhir hayat adalah sangat penting bagi manusia itu sendiri. Sayangnya, penandasan tersebut serta pengetahuan masyarakat terhadap anjuran terhadap pentingnya pendidikan anak usia dini, masih kurang direalisasikan. Pendidikan sepanjang hayat tidak dimaksudkan hanya “sampai kapanpun” tetapi jelas juga mengisyaratkan bahwa pendidikan “sejak usia dini.” 
B. Penanaman Karakter Anak Melalui PAUD
Mayoritas masyarakat masih dikungkung oleh nuansa formalitas institusi pendidikan yang ada saat ini, yakni Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pendidikan sebelum masuk SD atau pada saat anak berusia 0 – 6 tahun yang dikenal dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) masih dianggap sebagai pengisi waktu belaka. Orangtua sebagian hanya ingin melihat anaknya cepat sekolah sehingga PAUD sebagai pilihan bahkan masih ada sebagian lainnya yang hanya menanti usia SD anak mereka dengan kehidupan dalam keluarga dan masyarakat yang tak terarah sama sekali. Masyarakat masih kurang melihat esensi dari PAUD tersebut dipandang dari sisi pengembangan kompetensi dan karakter anak, khususnya pengembangan diri anak dalam memasuki usia SD. Perlu diketahui bahwa tingkat kapabilitas kecerdasan anak 50% tercapai dalam usia PAUD, sehingga urgensi pendidikan ini sangat jelas.
PAUD secara aplikatif membelajarkan tentang praktik-praktik keseharian anak baik dalam mengurus diri sendiri, dalam rumah, dan masyarakat atau tempatnya bermain. Praktik-praktik inilah yang harus mendapat perhatian karena PAUD mengarahkan anak untuk terbiasa secara normatif, mampu, dan juga tahan. Normatif adalah prilaku-prilaku atau praktik keseharian yang baik sesuai etika yang berlaku, seperti baca doa sebelum makan dan sebagainya. Mampu adalah tugas-tugas yang sudah semetinya dapat dilakukan oleh anak akan mampu dilakukannya, seperti saat anak memakai sepatu dan sebagainya. Tahan adalah menuntun anak untuk tak mudah menyerah terhadap kegagalan serta tahan terhadap pengaruh yang melemahkan mereka, seperti tatkala anak terjatuh tidak mesti mendapat pertolongan dari orangtua untuk bangkit kembali. Tentu contoh prilaku atau praktik keseharian sangat banyak yang identik dengan yang diterangkan di atas, yang dapat disimpulkan bahwa penanaman nilai-nilai karakter pada anak telah ditanamkan dengan sangat fundamental. PAUD adalah tempatnya secara terpadu penanaman nilai-nilai karakter terhadap anak sekaligus menjadi tempat penilaian secara rinci dari karakter yang telah dikembangkan pada diri anak. Inilah yang membuat PAUD menjadi sangat penting untuk menjadi pilihan masyarakat terhadap anak-anak usia 0 – 6 tahun tersebut.
 
C. Anak sebagai Amanah Tuhan
Jika dibandingkan anak yang melalui PAUD dengan yang tidak dalam memasuki pendidikan di SD, maka akan jelas terlihat perbedaannya secara umum. Memang, dari segi tambahan “kerepotan” orangtua yang anaknya melalui PAUD juga akan jelas terasa, namun tentu hal itu tak boleh menjadi alasan untuk meniadakan PAUD dalam rangkaian proses belajar anak yang menjadi buah hati belahan jiwa orangtuanya. Mengapa? Anak adalah titipan atau amanah Yang Maha Kuasa kepada orangtuanya. Harus yang diberikan adalah yang terbaik untuk mereka dan untuk masa depannya kelak. Meski lebih sulit, penanaman karakter anak sejak dini tentu akan lebih penting. Selain itu, jika orangtua sadar bahwa tanggungjawab dalam mendidik anak dalam hal ini menanamkan nilai-nilai karakter yang baik ada pada diri mereka, maka memasukkan anak ke PAUD adalah suatu pilihan yang tepat bagi para orangtua. Hal ini juga akan “bersentuhan” dengan prilaku anak terhadap orangtuanya kelak saat anak menjadi besar atau dewasa. Mengais karakter untuk penanaman nilai-nilai etika anak melalui PAUD akan rela dilakukan orangtua untuk mengantisipasi anak akan menjadi seorang tak beretika saat dewasa kelak. 
Disadur dari berbagai sumber

Senin, 08 Oktober 2012

Mengapa Pendidikan Anak Usia Dini Penting?



Lewat bermain yang terarah, anak usia dini sudah bisa belajar banyak hal.

Pendidikan anak usia dini (PAUD) yang baik dan tepat dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depan, begitulah pesan yang disampaikan Profesor Sandralyn Byrnes, Australia's & International Teacher of the Year saat seminar kecil di acara Giggle Playgroup Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management, Jumat, 11 Februari 2011 lalu.
Menurut Byrnes, PAUD akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. "Saat ini, beberapa taman kanak-kanak sudah meminta anak murid yang mau mendaftar di sana sudah bisa membaca dan berhitung. Di masa TK pun sudah mulai diajarkan kemampuan bersosialisasi dan problem solving. Karena kemampuan-kemampuan itu sudah bisa dibentuk sejak usia dini," jelas Byrnes.
Di lembaga pendidikan anak usia dini, anak-anak sudah diajarkan dasar-dasar cara belajar. "Tentunya di usia dini, mereka akan belajar pondasi-pondasinya. Mereka diajarkan dengan cara yang mereka ketahui, yakni lewat bermain. Tetapi bukan sekadar bermain, tetapi bermain yang diarahkan. Lewat bermain yang diarahkan, mereka bisa belajar banyak; cara bersosialisasi, problem solving, negosiasi, manajemen waktu, resolusi konflik, berada dalam grup besar/kecil, kewajiban sosial, serta 1-3 bahasa."
Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. "Tentunya cara bermain pun tidak bisa asal, harus yang diarahkan dan ini butuh tenaga yang memiliki kemampuan dan cara mengajarkan yang tepat. Kelas harusnya berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran. Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar," jelas Byrnes.
Contoh, bermain peran sebagai pemadam kebakaran, anak tidak akan mendapat apa-apa jika ia hanya disuruh mengenakan busana dan berlarian membawa selang. Tetapi, guru yang mengerti harus bisa mengajak anak menggunakan otaknya saat si anak berperan sebagai pemadam kebakaran, "Apa yang digunakan oleh pemadam kebakaran, Nak? Bagaimana suara truk pemadam kebakaran yang benar? Apa yang dilakukan pemadam kebakaran? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan ditanyakan untuk memancing daya pikir si anak," contoh Byrnes.
Selama 7 tahun meneliti pendidikan anak usia dini di Indonesia, Byrnes juga menemukan sebagian orangtua memiliki konsep bahwa anak-anak di usia itu sudah bisa berpikir. "Anak-anak usia dini belum bisa berpikir dengan sempurna seperti orang dewasa. Anak-anak usia tersebut harus dipandu cara berpikir secara besar, cara mencerna, dan berdaya nalar. Sayangnya, beberapa lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia belum mengajarkan mengenai multiple intelligences. Ini kembali ke perkembangan latar belakang ahli didiknya," ungkap Byrnes.
Apa perbedaan anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan usia dini berkualitas dengan anak-anak yang tidak belajar? "Di lembaga pendidikan anak usia dini yang bagus, anak-anak akan belajar menjadi pribadi yang mandiri, kuat bersosialisasi, percaya diri, punya rasa ingin tahu yang besar, bisa mengambil ide, mengembangkan ide, pergi ke sekolah lain dan siap belajar, cepat beradaptasi, dan semangat untuk belajar. Sementara, anak yang tidak mendapat pendidikan cukup di usia dini, akan lamban menerima sesuatu," terang Byrnes yang pernah mendapat gelar Woman of the Year dari Vitasoy di Australia. "Anak yang tidak mendapat pendidikan usia dini yang tepat, akan seperti mobil yang tidak bensinnya tiris. Anak-anak yang berpendidikan usia dini tepat memiliki bensin penuh, mesinnya akan langsung jalan begitu ia ada di tempat baru. Sementara anak yang tidak berpendidikan usia dini akan kesulitan memulai mesinnya, jadi lamban. Menurut saya, pendidikan anak sudah bisa dimulai sejak ia 18 bulan," tutup Byrnes.

SD Jangan Paksakan Tes Masuk dengan "Calistung"

 
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal, Dan Informal Lydia Freyani Hawadi mengingatkan sekolah-sekolah dasar untuk tidak memaksakan mengadakan tes masuk membaca, menulis, dan berhitung, bagi calon siswa. Hal itu, menurutnya, salah kaprah. Tes yang diberikan, tegasnya, harus disesuaikan dengan pengembangan anak saat belajar di TK atau PAUD.

“Jika masuk sekolah dasar itu diuji dengan membaca, menulis, dan berhitung, itu salah kaprah! Sehingga dalam hal ini, tolong dari pihak SD jangan seleksi masuk dalam hal itu.Kecuali sesuai dengan penegembangan mereka untuk masuk SD,” kata Lydia, akhir pekan lalu, di Gedung Kemdikbud, Jakarta.

Ia berharap para penyelenggara pendidika mengikuti rambu-rambu yang sudah ditetapkan. Terkait PAUD sendiri, ia menekankan, akan dijadikan sebagai prapendidikan dasar yang berperan menjadi pondasi sebelum masuk ke jenjang pendidikan dasar.

"Wajib belajar sendiri itukan 12 tahun, justru TK ini merupakan pondasi untuk masuk ke dalam pendidikan dasar. Kita tahu bahwa perkembangan anak 80 persen pada usia 3 tahun hingga keberadaan PAUD ini sangat penting,” ujarnya.
 
Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, katanya, memprioritaskan agar seluruh anak mengenyam PAUD. Selain mempersiapkan kurikulum, sarana, dan prasarana, kualitas para guru juga terus ditingkatkan.

“Karena keberadaan PAUD penting, kita sedang all out membuat mulai dari kurikulum yang baik, sarana dan prasarananya, maupun kualitas para guru,” ujar Lydia.

“Tidak hanya sekadar menggelontarkan uang untuk pembangunan gedung, renovasinya, atau men-set up adanya PAUD, kita justru sekarang lebih meningkatkan kompetensi guru melalui program beasiswa. Beasiswa tersebut untuk S1, S2, atau D4, D1 melalui kerjasama dengan beberapa universitas,” paparnya.

Baca dan Berhitung Bukan Porsi PAUD

Baca dan Berhitung Bukan Porsi PAUD


Kesadaran memberikan pendidikan bagi anak-anak usia dini kini semakin berkembang. Berbagai sekolah berlomba-lomba menerapkan berbagai metode pendidikan untuk anak usia dini. Namun, orangtua sebaiknya lebih bijaksana memilih metode pendidikan yang tepat.

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, anak-anak berusia balita (bawah lima tahun) yang mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) seharusnya tidak diberikan pendidikan baca tulis dan hitung (calistung).

"Kurikulum yang ada dibuat PAUD itu seharusnya didesain lebih pada sosialisasi pendidikan kepada anak, seperti berkenalan kepada temannya, bagaimana berinteraksi dan sosialisasi; bukan calistung. Berhitung itu seharusnya dimulai dari kelas I SD," ungkapnya dalam acara media edukasi bertajuk "Mengenali Gejala Stres pada Anak" yang diadakan oleh lembaga konseling Personal Growth, Selasa (20/3/2012) di Jakarta.

Dengan diajarkannya calistung pada PAUD ini, ia menilai anak-anak menjadi stres. Demikian pula dengan orangtua dan gurunya yang ikut stres, dan akan berdampak ketika menghadapi ujian nasional.

"Anak kita yang PAUD tidak bisa baca tulis, orangtuanya stres karena tidak bisa memasukkannya ke SD. Begitu seterusnya karena tidak sesuai grade. Ini dikarenakan sistem kurikulumnya memaksa anak harus bisa baca tulis," paparnya.

Kurikulum seperti itu, katanya, seperti sistem target yang harus diselesaikan. Seharusnya sistem pendidikan menggunakan sistem yang dapat membuat anak didik nyaman dan senang saat belajar.

"Kalau sekarang, misalnya, ketika guru tidak bisa hadir di kelas, anak-anak senang. Tidak merasa seperti ada yang kurang. Di sinilah salahnya," lanjutnya.

Menurut psikolog Ratih Ibrahim, seharusnya di setiap keluarga terbangun sebuah kesadaran bahwa pendidikan bukan hanya dari sekolah. Alternatif pendidikan itu bisa disediakan oleh orangtua.

"Sebetulnya, paling penting, itu disediakan oleh orangtua karena mereka kenal dengan baik psikologis perkembangan anaknya," ujar Ratih yang juga Direktur Personal Growth, dalam acara yang sama.

Dengan demikian, kata Ratih, kalau orangtua percaya diri akan anaknya dan gaya mendidik mereka, maka anak akan menemukan potensi mereka. "Ini yang tidak bisa diukur dengan nilai," katanya.

Membangun Karakter Sejak Pendidikan Anak Usia Dini



Membangun Karakter Sejak Pendidikan Anak Usia Dini

Kawan, jika saya ditanya kapan sih waktu yang tepat untuk menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang? Maka, jawabnya adalah saat masih usia dini. Benarkah? Baiklah akan saya bagikan sebuah fakta yang telah banyak diteliti oleh para peneliti dunia.
Pada usia dini 0-6 tahun, otak berkembang sangat cepat hingga 80 persen. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa yang dimana perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak akan mulai terbentuk. Karena itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa-masa emas anak (golden age).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli Perkembangan dan Perilaku Anak dari Amerika bernama Brazelton menyebutkan bahwa pengalaman anak pada bulan dan tahun pertama kehidupannya sangat menentukan apakah anak ini akan mampu menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan apakah ia akan menunjukkan semangat tinggi untuk belajar dan berhasil dalam pekerjaannya.
Nah, oleh karena itu, kita sebagai orang tua hendaknya memanfaatkan masa emas anak untuk memberikan pendidikan karakter yang baik bagi anak. Sehingga anak bisa meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam kehidupannya di masa mendatang. Kita sebagai orang tua kadang tidak sadar, sikap kita pada anak justru akan menjatuhkan si anak. Misalnya, dengan memukul, memberikan pressure yang pada akhirnya menjadikan anak bersikap negatif, rendah diri atau minder, penakut dan tidak berani mengambil resiko, yang pada akhirnya karakter-karakter tersebut akan dibawanya sampai ia dewasa. Ketika dewasa karakter semacam itu akan menjadi penghambat baginya dalam meraih dan mewujudkan keinginannya. Misalnya, tidak bisa menjadi seorang public speaker gara-gara ia minder atau malu. Tidak berani mengambil peluang tertentu karena ia tidak mau mengambil resiko dan takut gagal. Padahal, jika dia bersikap positif maka resiko bisa diubah sebagai tantangan untuk meraih keberhasilan. Anda setuju kan?

Banyak yang mengatakan keberhasilan kita ditentukan oleh seberapa jenius otak kita. Semakin kita jenius maka semakin sukses. Semakin kita meraih predikat juara kelas berturut-turut, maka semakin sukseslah kita. Benarkah demikian? Eit tunggu dulu!
Saya sendiri kurang setuju dengan anggapan tersebut. Fakta membuktikan, banyak orang sukses justru tidak mendapatkan prestasi gemilang di sekolahnya, mereka tidak mendapatkan juara kelas atau menduduki posisi teratas di sekolahnya. Mengapa demikian? Karena sebenarnya kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak kita saja. Namun kesuksesan ternyata lebih dominan ditentukan oleh kecakapan membangung hubungan emosional  kita dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Selain itu, yang tidak boleh ditinggalkan adalah hubungan spiritual kita dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Tahukah anda bahwa kecakapan membangun hubungan dengan tiga pilar (diri sendiri, sosial, dan Tuhan) tersebut merupakan karakter-karakter yang dimiliki orang-orang sukses. Dan, saya beritahukan pada anda bahwa karakter tidak sepenuhnya bawaan sejak lahir. Karakter semacam itu bisa dibentuk. Wow, Benarkah? Saya katakan Benar! Dan pada saat anak berusia dini-lah terbentuk karakter-karakter itu. Seperti yang kita bahas tadi, bahwa usia dini adalah masa perkembangan karakter fisik, mental dan spiritual anak mulai terbentuk. Pada usia dini inilah, karakter anak akan terbentuk dari hasil belajar dan menyerap dari perilaku kita sebagai orang tua dan dari lingkungan sekitarnya. Pada usia ini perkembang mental berlangsung sangat cepat. Pada usia itu pula anak menjadi sangat sensitif dan peka mempelajari dan berlatih sesuatu yang dilihatnya, dirasakannya dan didengarkannya dari lingkungannya. Oleh karena itu, lingkungan yang positif akan membentuk karakter yang positif dan sukses.

Lalu, bagaimana cara membangun karakter anak sejak usia dini?

Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Untuk itu, Tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini, salah satunya dengan cara memberikan kepercayaan pada anak untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak mengarahkan potensinya dengan begitu mereka lebih mampu untuk bereksplorasi dengan sendirinya, tidak menekannya baik secara langsung atau secara halus, dan seterusnya. Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ingat pilihan terhadap lingkungan sangat menentukan pembentukan karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan penjual minyak wangi akan ikut wangi, bergaul dengan penjual ikan akan ikut amis. Seperti itulah, lingkungan baik dan sehat akan menumbuhkan karakter sehat dan baik, begitu pula sebaliknya. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan YME terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan sosial.
Nah, sekarang kita memahami mengapa membangun pendidikan karakter anak sejak usia dini itu penting. Usia dini adalah usia emas, maka manfaatkan usia emas itu sebaik-baiknya.